NOVEL GILIK

 CHAPTER 0: SILUMAN GILIK


-          Desa Peranjan, Tahun 1978   -

Suara-suara samar membayanginya.

“Dasar tolol! Muka monyet! Kerja saja tak becus! “ (Suara lelaki mengejek)

“Bayar hutangmu bajingan! “ (Teriak lelaki dengan kasarnya)

“Dia beban keluarga? Tak heran “ (Bisik seorang wanita)

“AHAHAHAHA....BABI BUSUK! AHAHAHA!!” (pecah tawa pemuda-pemuda)

“Apa sih gunamu Bang?! “ (teriak seorang wanita).

“Kasihan keluargamu, kau menderitakan mereka. Matilah agar dunia damai “ (Kata seorang kakek)

Suara-suara itu terus berdengung di kepala Darman. Ia sudah tak tahan lagi. Apa artinya hidup jika hanya menjadi bahan cemoohan?

“Mereka orang-orang munafik terus berdatangan. Mengapa. Mengapa orang-orang seperti mereka masih diperkenankan hidup? Bukankah lebih baik tidak mendiami bumi? Apa mesti dibunuh agar mereka kapok?“

Pikiran-pikiran keji terus menerus timbul dalam pikiran Darman yang kacau.

Baik mental maupun pikirannya benar-benar hancur lebur setelah uangnya ludes tak bersisa. Tak hanya itu. Utang puluhan juta pun kini ia tabung seorang diri. Uang hasil pinjaman dari kawan, saudara hingga mertuanya. Tagihan-tagihannya membengkak lambat laun. Para preman seringkali berdatangan menyambangi rumahnya hanya untuk menagih utang. Mereka orang suruhan para debitur yang sudah dongkol dengan kegoblokan Darman. Uang yang katanya dipinjam untuk jadi modal usaha warung bakso malah digunakan untuk judi. Emang sinting si Darman.

Sekarang giliran  istrinya yang bingung. Mencari pinjaman sana-sini guna menutup lubang yang dibuat oleh suaminya sendiri. Bahkan untuk memenuhi biaya hidup, ia rela jadi kuli bangunan.

Adapun si Darman, akibat stress berat akhirnya ia menganggur. Gawainya di rumah hanya makan, tidur, dan minum amer sampai teler. Perbuatan yang tak memberikan contoh teladan sebagai kepala rumah tangga. Orang-orang rumah sampai jijik melihat kelakuan edan-nya itu tiap hari. Anak-anaknya sampai kabur gegara merasa risih dengan kelakuan Darman. Mereka memilih mengungsi di kediaman neneknya di kabupaten sebelah.

Tinggalah di gubuk kecil itu Darman dan istrinya seorang.

Pada suatu hari terjadi perte Tiap kali istrinya mengeluh sikap gobloknya, si Darman selalu teriak.

“Diam kau lonte! “

Bagaimana tak sakit hati dengan perkataan kasar semacam itu? alhasil istrinya juga menaruh benci padanya. Gegara sakit hati itulah istrinya kabur dari rumah. Ia biarkan sang suami terkubur dalam kegoblokannya sendiri.

Makin hari otak Darman tampak makin redup. Kejiwaannya juga penuh tanda tanya. Tingkahnya seperti orang sedang mabuk. Bila jalan di luar rumah, jalannya sempoyongan persis orang selepas minum khamr. Dan kalau berjalan mulutnya selalu bergumam tak jelas. Masyarakat makin risih dengan sosok Darman.

Tambah jijik lagi si Darman ketahuan tak pernah mandi. Badannya busuk menyengat. Jika ia lewat di depan rumah maka warga akan langsung menutup pintu. Jika ia berpapasan dengan orang lain maka lubang-lubang hidung akan segera disumpal rapat-rapat.

Kata-kata pedas pun akan langsung menyeruak:

“DASAR ANJING GILA! “

“SI TOLOL! “

Pada situasi Darman sekarang ucapan sebusuk apapun akan ia hiraukan. Masa bodo dengan warga. Ia hanya ingin kekayaannya kembali, menang judi dan bisa minum anggur merah sepuas-puasnya. Hanya itu yang ia inginkan. Tak ada yang lain.

Perih rasanya mengingat bagaimana harta kekayaannya raib dalam sekejap.

Hati Darman selalu bergumam:

“Siapa yang salah? Aku sekarang jadi miskin siapa yang salah? Siapa yang menyebabkan kesialan ini? Siapa? “

Setiap waktu pertanyaan tentang siapa yang harus disalahkan selalu muncul di otaknya.

“Seandainya hari itu aku tepat menebak pasti aku mendapat uang lebih banyak. Apa berarti aku yang salah? Tidak, tidak, mana mungkin aku salah. Lalu di mana aku bisa mendapatkan uang? Dimana? “

Pertanyaan-pertanyaan itu dipikulnya sepanjang jalan kampung yang kian meremang. Matahari akan padam. Rembulan mulai bersinar berganti giliran dengan sang mentari. Warna-warna jingga melahap seluruh kampung. Kini ia menjadi temaram.

Redupnya hari sama redupnya dengan mata Darman nan kian rapuh. Petang, persis seperti jiwa Darman yang juga petang. Atau lebih berbahayanya lagi jiwa itu berpotensi berubah gelap.

Setelah berkelana tanpa tujuan ia pun merehat di pos ronda. Sendirian. Tanpa siapapun di sisinya. Satu-satunya kawannya hanyalah gumaman tak jelas lah dari mulutnya yang kering. Beserta dingin menusuk kulit. Bulan itu adalah musim peralihan dari musim kemarau menuju musim penghujan. Suhu terkadang naik terkadang turun. Semilir angin pun terasa amat menyiksa tubuh dengan dingin yang amat tak nyaman. Berebeda dengan dingin musim penghujan nan segar.

Di sana tak hentinya ia berceloteh. Mulutnya baru terbungkam saat bisikan mendadak mengorek kuping.

“Ssst..”

Kupingnya serasa ditiup.

Ia menoleh ke belakang. Betapa terkejutnya Darman kala menemukan sosok duduk persis di belakangnya. Ia melihat sosok wanita cantik, berambut panjang halus dan memiliki lentik mata indah mempesona. Sayangnya wanita itu bertubuh cacing besar. Sebesar badan manusia. Badannya yang panjang menggeliat-geliat menjijikkan. Lebih mengerikannya lagi sosok wanita itu menyiratkan senyum padanya. Sontak mata Darman terbelalak takut. Ia ingin segera kabur, tapi aneh, badannya tak mampu bergerak.

“Apa kau ingin kekayaanmu kembali? Aku bisa mewujudkannya. Ikuti langkahku “

Darman pucat pasi tatkala berhadapan dengan hantu wanita itu. Badannya mematung, keringat dingin pun bercucuran. Tapi semua ucapan si wanita mampu Darman tangkap dengan baik. Kata-katanya bahkan seperti merayap sampai ke gendang telinganya.

“Hanya melakukan itu maka aku akan kembali kaya? “

Tanyanya dengan bibir bergetar.

“Iya, aku janji “

Tapi sang wanita membalas dengan tegas. Meski pertanyaan itu bukan untuknya.

“bagaimana caranya? “

Tanyanya meski gugup menahan perasaan takut.

“Lakukan apa yang kusarankan “

Pertemuan Darman dengan sosok wanita berbadan gilik menjadi gerbang awal kemunculan tragedi-tragedi mengerikan di Kampung Peranjan. Darman mengikuti instruksi si wanita setan dengan naif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar